Aku Bima, berusia lima belas tahun, aku duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama, anak pertama, ibuku adalah seorang keturunan Arab yang begitu mencintai negeri itu, sedangkan ayahku sendiri adalah seorang kelahiran sunda namun ia sangat menyukai negara tetangga yaitu Singapura, menurutnya Singapura adalah negeri yang indah meski luasnya sama dengan kota Jakarta namun Singapura tak kalah kaya dari indonesia.
Sedang aku sendiri, begitu mencintai negeriku. Negeri tempat aku dilahirkan, negeri yang begitu elok nan permai dengan kekayaannya yang membentang luas dengan segudang keindahan alamnya, negeri ini, negeri yang dahulu di perebutkan orang-orang asing, negeri yang berdiri dengan darah dan nyawa sebagai taruhan adalah tempat di bumi ini yang paling ku cintai, entah berapa kali ku menginjak kaki di seluruh bumi, tetap, negeriku adalah tempat untuk ku pulang, menaruh harap, memupuk rindu, meraih cita.
Pada saat itu aku masih berumur sepuluh tahun. Aku tidak mengerti arti dari upacara bendera yang dilaksanakan setiap hari senin, bagiku itu hanya sebuah kegiatan biasa dengan cara berpanas-panasan di bawah terik matahari, yang hanya akan memakan waktu sia-sia. Namun setelah aku menyadari betapa berharganya negeriku ini, Indonesia, melalui pelajaran yang diajarkan guruku, aku menjadi seorang yang bertekad untuk menjadi garda terdepan dalam membela dan memperjuangkan negeri kecintaan ku Indonesia. Dan aku pun memiliki beberapa pengalaman dalam membela dan memperjuangkan negeri ku.
Suatu malam gelap gulita berselimut dingin yang menusuk, aku melangkah menuju mobil yang sudah siap tuk berangkat. Aku dan ibuku akan pulang ke kampung, bukan tanpa alasan, hidup di kota sepertinya tidak terlalu cocok untuk kita, ayahku yang sudah melupakan kita, bersama seorang wanita yang tidak dikenal, sosok ayah yang dulu ke kanal sudah menghilang, ibu yang tiba-tiba diPHK oleh perusahaannya bekerja, sedangkan hidup di kota sangat keras, semua serba mahal dan aku pun masih seorang pelajar di bawah umur yang belumlah boleh untuk berkerja. Syukurlah pamanku di kampung menghubungi ibuku dan memintanya pulang saja untuk membantu paman mengelola peternakannya.
Suasana kampung begitu sempurna seperti apa yang kubayangkan sejak dulu. Sejuk, damai, indah dan tentu saja menenangkan. Aku dan ibuku yang baru saja sampai di kampung dengan hangat disambut oleh paman dan isterinya.
“Wah kamu sudah besar ya, Bim, dulu waktu paman ke kota, kamu masih kecil” sapanya padaku.
Aku hanya tersenyum mengangguk sebagai tanggapan, lalu paman mempersilahkan kami masuk dan membantu membawakan barang-barang yang berada di dalam mobil.
“Dani, maaf ya kakak merepotkan mu” ucap ibuku pada paman.
“Untuk apa meminta maaf, kak, kak Dewi lah saudara satu-satunya yang ku punya, sudah menjadi kewajiban ku untuk membantu kakak” ucap paman.
Seketika ku lihat ibuku berurai air mata, ia langsung mendekap erat adik satu-satunya itu. “Terima kasih banyak, Dan.” Pamanku mengangguk di pelukan ibuku, juga, dengan berurai air mata.
Pagi yang cerah di kampung ini menjadi awal yang sudah ku harapkan sejak perceraian ayah dan ibuku. Suara kicauan burung, gemercik air sungai hijaunya pepohonan dan tentunya hamparan sawah yang sudah menguning keemasan, pertanda musim panen akan segera tiba.
“Bim, ayo siap-siap” ucap ibuku dari dalam rumah.
“Memangnya kita mau kemana Bu?” tanyaku pada ibu.
“Untuk daftar sekolahmu tentu saja, kamu tidak boleh putus sekolah seperti ibu”
“Bu, bolehkan aku membantu paman bekerja saja? Aku tidak mau menjadi beban untuk ibu” ucapku pada ibu.
“Nak, dengar ibu, kamu bukan beban ibu, justru kamulah yang menjadi kekuatan untuk ibu, kamu adalah anugerah dari tuhan yang harus ibu jaga, kamu harus belajar dengan baik nak, mendapat ilmu agar kamu menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak kelak, kamu tidak harus memikirkan biaya, itu urusan ibu, mengerti?” Kata ibu sambil menatapku, aku mengangguk menjawab ucapan ibu.
SMP Nusa Bakti sangat ramai saat pertama kali ku kunjungi dengan ibu. Sepertinya ini adalah sekolah yang akan menjadi tempatku menuntut ilmu dan mengenal teman baru. Semoga tempat ini menjadi sebuah lembaran baru yang lebih baik lagi.
Aku dan ibu berjalan menyusuri lorong menuju tempat pendaftaran, sesampainya di sana ku lihat sepertinya ada seseorang yang juga mendaftar di sekolah ini. Sepertinya dia juga seumuran denganku. Ibu lalu mengambil formulir pendaftaran sedangkan aku menghampiri dia. “Hai salam kenal, aku Bima, kamu juga daftar disini?” ucapku menyapa seorang remaja laki-laki seumuran ku yang sedang duduk diluar ruang pendaftaran.
“Salam kenal Bima, aku Wisnu, benar, aku daftar disini sebagai murid pindahan, aku kelas 2 SMP, bagaimana denganmu?” tanya Wisnu.
“Wah kalau begitu sama, aku juga kelas 2 SMP, salam kenal ya Wisnu, semoga kita bisa berteman baik” ucapku dengan senyum.
“Tentu saja” Jawab Wisnu juga dengan tersenyum.
Tiga bulan kemudian
Upacara bendera setiap hari Senin rutin dilakukan disini, meski lapangan yang seadanya tidak menjadi penghalang kami untuk selalu memperingati Indonesia. Ku perhatikan, Wisnu selalu kabur saat upacara akan dimulai, ia berdalih tak mau berpanas-panasan sambil hormat pada bendera merah putih yang oleh banyak orang di negeri ini sangat dihargai.
“Untuk apa Bim, di negeri ini, bahkan orang tua ku tidak bisa mencari uang untuk bertahan hidup, ibu dan ayahku bekerja di negeri orang, sedangkan aku? Sekolah disini pun harus bayar” Kata Wisnu saat ku tanya alasan ia tidak mau ikut upacara bendera.
“Tapi bagaimanapun juga, ini adalah tanah air mu Wisnu, tanah airku, tanah air kita, kita lahir dan besar disini, sedangkan uang batapa banyak orang yang bekerja di manapun tetapi tetap berawal dari negeri sendiri. Apakah orang tuamu tiba-tiba bekerja di sana dan meninggalkanmu disini tanpa sebuah alasan? Karena ini tempatnya, tempat orangtuamu kembali pulang setelah sekian lama di negeri orang, apakah kamu pikir orang tua mu suka bekerja di negeri orang? Bukankah sebenarnya banyak sekali hal yang dapat dilakukan di negeri sendiri, karena ini tanah kita, negeri kita” Kataku dengan membara, entah mengapa aku tidak mau ada orang yang di negeri ini yang tidak menghargai negeri yang sangat aku cintai ini. Entah sudah berapa derita, luka, tawa, bahagia aku lalui di negeri ini.
“Kamu benar Bim, aku belum pernah memikirkan itu sebelumnya, sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatiku, aku juga mencintai negeri ini meski berapa kali pun aku menderita tapi tetap bahagia paling sempurna ku hanyalah di negeri ini” kata Wisnu sambil tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
Begitulah kehidupan, seberapa berat hidup yang dijalani seseorang, lalu sampai ia berada pada titik menyalahkan diri sendiri dan negeri tempat ia berpijak, berlindung dan bernaung, ada satu kebenaran yang tidak pernah diketahui orang lain, jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat mencintai negeri ini, satu-satunya tempat yang pasti sangat pasti akan menerimanya, karena ini adalah tempatnya, tempat ia pulang, tempat ternyaman yang dapat ia tempati, meski dia berkata sudah berkelana ke seluruh tempat di bumi ini, kebenaran sebenarnya adalah negerinya adalah tempat yang paling ia rindukan.
karya: Ratu Asty Aura Oktaviani
Comments