top of page

𝓤𝓷𝓲𝓿𝓮𝓻𝓼𝓾𝓶 𝓷𝓸𝓵

Writer's picture: HMJ SPI UIN BANTENHMJ SPI UIN BANTEN

cerita fiksi ini di buat secara implisit, jadi untuk para pembaca kalian bisa meninterpretasikan sendiri maksud dari alur cerita fiksi ini sekaligus untuk mengasah pemahaman kalian dalam berfikir. Selamat Membaca.....



universum nol

oleh : tia


"Perkiraan kamu sampai, harusnya masih 28 tahun lagi,tau."


"Oh ya?"


"Iya. Kenapa sekarang udah di sini?"


"Saya maunya sekarang."


"Kamu kecepetan."


"Bukannya orang-orang suka sama yang cepet-cepet?"


Hara menyandarkan diri pada salah satu sisi tembok ruang tanpa jendela berwarna putih. Sebetulnya ia malas berbicara dengan orang yang ada di depannya ini. Sejak datang, Hara diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Ini sudah hari kedelapannya diinterogasi. Kardus pizza dan gelas kola berserakan di mana-mana.


"Jawab saya, Saka."


"Apa yang harus saya jawab?"


"Bukannya orang-orang suka sama yang cepet-cepet?"


"Saya gak tau."


"Padahal kamu yang lebih cepet dari saya."


Ah, orang ini. Siapa yang peduli tentang kecepatan jika yang dibutuhkan di meja saji malam nanti adalah sebakul nasi, seporsi cumi tepung, dan oseng kangkung dengan rasa lezat yang menggugah yang selalu (diusahakan) membuat perut penuh dengan senang.


"Menurut kamu, cepet selalu berarti baik ya?"


"Oh, jelas."


"Ya udah. Udahan. Sekarang kita ke luar yuk."


Saka berjalan dan memakai sayap yang diletakkannya di samping gagang pintu.


"Kalo kamu pake sayap, terus saya pake apa?"


Ah, orang ini. Padahal sering sekali berdiri sambil mangap-mangap di depan kipas angin.


"Tangan kamu dikebawahin coba."


Hara yang sedang menapak dan perlahan kakinya bebas menendang-nendang kecil udara.


"Kok saya bisa?"


"Ya bisa-bisa aja dong?"


Hara dan Saka memulai perjalanan mereka.


"Saka, kenapa kamu bisa betah sewa indekos sempit kayak gitu? Mana gak ada jendela juga."


"Saya dapetnya di situ. Harusnya saya yang tanya kamu, kenapa kamu ke indekos saya? Emang tempat lain penuh semua?"


"Ya karena murah."


"Kamu kalo uangnya sedikit kenapa ke sini?"


"Kamu kok masih interogasi saya? Katanya udahan."


"Cuma nanya aja padahal."


Rintik yang dikuadratkan mulai turun. Saka rasa, agaknya si pemilik garasi tengah sedih karena satu dan lain (dan lain, lain, lain, lain, lain, dan lainnya) hal.


"Saka, kita bisa ke arah selatan?"


"Bisa aja."


"Saya mau ke selatan."


"Ayo."


Mereka melaju ke selatan.


"Hara, kenapㅡ"


"Mau lihat yang pake green tee, yang lagi ngerokok tuh."


"Aneh."


"Kamu yang aneh."


"Kamu jauh-jauh ke selatan cuma mau lihat satu orang marah-marah begitu."


"Orang itu pelaku kisah kasih tak sampai."


"Sama siapa?"


"Ada deh. Kamu emang belum pernah denger?"


"Walkman saya ditinggal di perahu."


"Kamu nelayan?"


"Bukan."


"Terus?"


"Terus kamu mau ke mana lagi?"


"Ke Djuanda. Saya mau ke Djuanda."


Ah, orang ini. Selalu ingin ke Djuanda padahal katanya sangat tidak menyukai air mata.


"Saka, lihat orang yang berkaos kuning itu."


"Yang tulisannya Security?"


"Iya. Dia pedagang es yang baik sekali. Saya pernah dikasih satu gelas secara gratis. Rasanya juga enak."


"Punya toko di mana?"


"Sekenanya aja mau di mana. Di lubang hidungmu juga bisa."


"Di kebun kelapa sawit bisa juga?"


Saka dan Hara berlarian di terminal keberangkatan. Mencari-cari air mata yang sudah dijual di kedai yang bungkusannya sudah pakai kertas. Si kedai yang merasa zero wasted dan menyelamatkan bumi padahal bahan baku kertasnya dari kayu-kayu hasil illegal logging.


"Kamu nemu?"


"Nggak. Kayaknya udah sold out."


"Ya udah, kita pergi aja."


"Ke mana?"


"Ke rumah kamu."


"Rumah saya yang mana?"


"Kamu kebanyakan rumah?"


"Justru saya gak punya rumah."


"Yang di belakang tukang soto?"


"Cuma numpang tidur aja di sana."


Hara dan Saka melewati hiruk-pikuk manusia yang tengah berebut banyak hal: tiket konser, sendok perak, penutup aib, bakwan, tempayan, dan kunci setang.


Mereka sudah sampai di tempat ini. Tempat di belakang tukang soto yang tidak membuat acar jika bangunnya terlalu siang.


Ramai.


"Padahal saya gak pernah diperlakukan sehangat ini. Kenapa ini beda ya? Orang-orang jadi (ngerasa)deket sama saya."


"Orang-orang memang begitu."


"Begitu apa?"


"Ya begitu."


"Lihat! Ada yang menangis sesenggukan di kursi paling depan."


"Orang-orang memang begitu."


"Begitu apa?"


"Ya begitu."


Saka dan Hara menelan rintik yang jatuh secara sukarela.


Si pemilik garasi masih sedih.


Sudah 21:330:94lamanya mereka memperhatikan orang-orang.


Rintik yang bernama Kintaka sudah pamit kepada Saka saat di tenggorokan. Baskara datang sebentar, tapi harus pergi lagi ke fotokopi untuk mencetak pakta suruhan atasannya yang harus diletakkan di mejanya besok pagiㅡ yang kalimat terakhirnya tertulis tanpa paksaan dari pihak mana pun.


"Orang-orang memang begitu."


"Akhirnya."


"Akhirnya apa?"


"Akhirnya kamu tau."


"Habis ini kita mau ke mana?"


"Kamu mau ke mana?"


"Kamu maunya ke mana?"


"Ke Mana."


"Ngapain?"


"Ngebahas yang belum sempat kita bahas."


"Apa lagi yang belum kita bahas?"


"Yang 28 tahun itu."


"Oh."


"Mau ya? Iya mau."


"Duh. Orang-orang memang begitu."


"Begitu apa?"


"Ya begitu."


"Kita jadi pergi?"


"Menurut kamu?"



menurut sang penulis arti dari universum nol itu adalah kehidupan yang isinya seperi orang-orang yang tidak hidup, tapi juga tidak mati. by : tia

12 views0 comments

Recent Posts

See All

NEGERIKU

Comments


OFFICIAL WEBSITE HMJ SPI UIN SMH BANTEN

083805937957

Jalan Jendral Sudirman No. 30 Panancangan Cipocok Jaya, Sumurpecung, Kec. Serang, Kota Serang, Banten 42118, Indonesia

  • Instagram
  • Facebook
  • Google Places

©2021 by SPI BERKARYA. Proudly created with Wix.com

bottom of page