top of page

CERPEN : Aku, Kau, dan Cahaya Senja di Pantai

Writer's picture: HMJ SPI UIN BANTENHMJ SPI UIN BANTEN

Updated: May 31, 2022

Aku, Kau, dan Cahaya Senja di Pantai

Oleh: Rowan

Sore hari mengantarkanku pada suatu tempat. Tempat dimana kisah kita tertulis pada buku besar yang ada di langit. Tempat dimana akan menjadi titik utama cerita pendek pada yang akan kusampaikan pada dunia. Intinya, tidak semua cinta bisa kita miliki. Tidak semua keinginan bisa terpenuhi dan tidak semua ekspektasi bisa menjadi realita kehidupan. Aku duduk di atas pohon kelapa yang terbentan dan sengaja dijadikan tempat duduk. Bukan hanya aku saja yang duduk di sini. Aku hanya salah satunya saja. Aku menikmati es kelapa yang pernah kita beli saat itu. Kali ini aku mengenangmu bukan lagi dengan air mata sendu. Bukan lagi dengan air mata kecewa. Bukan lagi dengan air mata kekesalan. Aku menikmati es kelapa ini dengan rasa bahagia sebahagia saat kita pertama kali menikmatinya di sini, bahkan lebih bahagia. Aku juga akan menceritakan tentang manusia yang tetiba datang begitu saja tanpa pernah kuminta. Tapi, karenanya aku bisa menjadi diriku lagi. Hm, tak perlu lama-lama lagi. mari menikmati cerita kali ini.

Tiga bulan lalu. Saat itu libur panjang hari raya Idul Fitri. Tidak usah ditanya bagaimana keadaan jalan menuju tempat-tempat liburan, sudah pasti panjang sekali macetnya. Tapi, kita tetap membuat rencana liburan. Hubungan Aku dengannya sangat baik saat itu, tapi aku dengan dia tidak untuk memilih pacaran. Karena Aku dengannya itu berteman. Ya, berteman sejak SMA, dan sepertinya memang sudah nyaman hanya sebatas teman. Aku suka dengan dia? Iya, sangat. Apa dia suka dengan Aku? Entahlah. Oiya, sekarang aku dengan dia sudah kuliah, sekarang semester genap. Sayangnya, tidak satu kampus, namun tidak terlalu jauh juga jarak antara kampusku dengan kampus dia. Sudah satu tahun lebih kami tidak bertemu, untuk chattingan sih, masih.

Akhirnya, kita merencanakan liburan. Lima hari setelah lebaran. Saat itu dia ingin sekali pergi ke pantai. Entahlah kenapa dia memilih pantai mejadi pilihannya saat liburan, mungkin dia ingin menunjukkan kemampuannya menjadi mermaid. Eh, maksudku, jarang sekali orang yang tidak menyukai pantai. Dengan memandang deburan ombaknya saja, itu bisa menghilangkan separuh masalah. Suasananya bisa lebih merilekskan pikiran untuk mengambil keputusan-keputusan terbaik. Apalagi ketika matahari tenggelam. Iitu akan menjadi momen untuk mengungkapkan sebuah perasaan. Eh.

Hari Sabtu. Kami memutuskan berangkat siang. Nah, sudah tahu, kan tujuannya apa? Yup, mandangin matahari tenggelam. Aku menuju rumahnya. Rumahnya sudah pindah, jadi aku harus berangkat lebih awal agar kalo kesasar tidak terlalu lama dan dia juga sudah membagikan maps arah rumhanya yang baru. Kususuri jalan menuju rumahnya, sambil berfikir percakapan apa nanti yang akan diobrolin, apakah tentang dia yang galak banget waktu nagihin uang kas waktu SMA atau aku yang tidak sengaja waktu main bola nyemplung ke empang sekolah. Aku senyum-senyum sendiri selama perjalanan. Dan feelingku benar, ternyata nyasar, lebih dua gang, akhirnya aku video call dia, untungnya tidak jauh. Akhirnya aku sampai.

Ini bukan kali pertama aku kerumahnya. Waktu SMA juga pernah ke rumahnya. Ya, rumahnya yang lama. Tapi, tidak terlalu sering. Masih kehitung jari. Dan orang tuanya sudah kenal denganku. Aku menobrol dengan orang tuanya (karena Dia masih sibuk dandan di kamar). Aku ditanya kabar, kerja atau kuliah, kuliahnya dimana, dan kapan datang ngelamar. Eh, pertanyaan terakhir bercanda ding. Aku meminta izin untuk pergi liburan dengan anaknya yang cantik. Ibunya berpesan hati-hati, ayahnya berpesan jangan pulang larut malam, pukul 22:00 rumahnya sudah dikunci.

Aku berangkat dengannya pukul 13:00 target sampai di Pantai pukul 15:00 karena normalnya dari rumahnya ke Pantai itu 2 jam perjalanan. Tapi, ya, begitulah, karena masih dalam momen cuti bersama hari raya, arah ke Pantai cukup padat merayap. Kami yang menggunakan motor saja, sesekali terpaksa berhenti karena macet. Untungnya, meskipun macet obrolan kami menjadi obat buat aku yang jadi driver– yang batal emosi karena macet-. Obrolannya cair, sesekali kami tertawa terbahak. apalagi saat mengenang kisah-kisah di SMA, terutama kisahku yang terjun bebas ke empang karena ngejar bola dan cekcok dia sama anak kelasan karena nagihin uang kas. Saat di awal perjalanan obrolan kami tidak terlalu berjalan lancar (tapi jalannya lancar sih, engga macet). Saat itu lebih banyak ngomong, “hah, hah, heh, oh, iya, ENGGA KEDENGERANNNN”.

Perkiraanku meleset setengah jam. Jadinya kami sapai di pantai pukul 15.30.Setelah parkir, kami langsung menuju surau, untuk sholat Ashar. Setelah itu, kami bermain air. Kan, benar, dengan melihat deburan ombaknya saja menghilangkan setengah dari masalah kehidupan. Tugas-tugas yang belum selesai langsung hilang dipikiranku saat itu. Fokusku hanya bermain air pantai dengannya. Celana kami basah hampir sebetis karena terkena ombaknya. Dan bajuku basah sedikit, ternyata dia iseng mencipratkan air. Aku membalasnya sekali, dan baju dia basahnya langsuh lebih parah dari bajuku. Aku sudah melihat wajah imutnya ingin balas dendam, aku langsung kabur, dia mengejar. Dan lucunya dia jatuh. Duh, celana bagian pahanya basah sedikit. Aku tertawa. Dan membantunya sih. Lalu kami duduk di pohon kelapa yang terbentang panjang di bibir pantai. Menikmati dua es kelapa yang sudah aku pesan. Kami mulai banyak cerita, sepertinya sudah cukup main airnya. Saatnya ngobrol dan menunggu matahari tenggelam di Barat. Saat itu cuacanya cerah, matahari perlahan mulai menyelesaikan tugasnya dan gantian dengan bulan sebagai penerang dan teman bagi manusia di bumi.

Aku bukan tipe yang banyak cerita, lebih-lebih kepada orang yang menurutku tidak cocok untuk aku jadikan tempat untuk bercerita. Meski begitu, ada juga beberapa orang yang aku percaya untuk menjadi temanku bercerita. Hm, soalnya aku pernah cerita masalah privasiku, eh malah bocor, ember emang. Sejak saat itu, aku tidak banyak cerita pada banyak orang, hanya sebagian saja. Dan aku suka sekali mendengar cerita dan sudah pasti aku akan menjaga cerita itu agar tidak bocor. Karena aku tahu betul bagaimana rahasia, aib, privasi kita bocor dan diketahui oleh orang lain.

Dia mulai bercerita tentang kuliahnya, gimana rasanya saat menjadi mahasiswa baru, beralih status dari siswa menjadi mahasiswa, Dia juga mengeluh tentang tugas-tugas yang lumayan banyak dan belum dia selesaikan (dan aku jadi kembali ingat tugas kuliahku juga). Tentang dosen killer dan dosen yang hanya numpang absen dan ngasih tugas –sebatas formalitas-. Aku juga sama menceritakan kuliahku, dimana kuliahku berlebel Universitas Islam Negeri dan harus menjaga marwah nama kampus. Karena sudah terakulturasi banyak budaya, kami juga ngobrol tentang Fashiondi kampus masing-masing. Ternyata tidak sedikit jugafashion yang kebablasan dan kurang pantas ditampilkan oleh anak-anak kuliahan. Kami juga banyak berbicara tentang hal-hal serius di perkuliahan, tentang pengajaran di kampus, gimana caranya menjadi mahasiswa yang baik, organisasi di kampus, birokrasi kampus, tanggapan tentang demonstrasi di jalan, dan kebijakan-kebijakan pemerintahan. (Duh, jadi melebar kemana-mana. Tapi tak apa, kita focus lagi kepada genre cerpen ini).

Matahari seakan cepat ingin say good bye dan saat itulah sad in heart mulai menjamah. Bukan karena matahari yang sebentar lagi tenggelam. Tapi karena curhatan yang selanjutnya tentang Kaka Tingkat yang dia sukai di kampus. Lancar betul dia menceritakannya. Dia menceritakan betapa kerennya cowo itu. Aku hanya menatapnya, wajahnya sangat bahagia saat menceritakannya, wajah yang sangat ingin aku lihat ketika dia menceritakan tentangku, wajah yang aku ingin pandang selama sisa hidupku, wajah yang ingin kujadikan pendampingku di dunia, wajah yang ingin aku jadikan penyempurna akan separuh imanku. Demi pertemanan yang sudah terajut dari SMA, aku tetap bersikap biasa di hadapannya. Aku merespon setiap ceritanya.

Matahari benar-benar tenggelam.

Kami menuju surau dekat Pantai. Hancur sudah semua rasa yang ingin kuungkap sejak akhir SMA. Semua rasa itu menggantung dan terpenjara dalam hati dengan gembok yang tak tahu kuncinya dimana. Apalagi setelah dia bercerita banyak tentang cowo yang disukainya. Aku tetap berjalan normal dan bersisian dengannya menuju surau. Selesai sholat maghrib kami maka seafood di resto dekat pantai, dengan view yang sangat indah. Langit masih agak keorenan.

Ketika kami sedang makan. HP Dia berbunyi. Lalu dia mengangkat panggilannya sambil tangan satunya menikmati Jus Mangga yang dipesan. Alamak, wajahnya bagaikan disiram bulan purnama saat teleponan yang entah itu dengan siapa. Lalu teleponnya dimatikan. Aku bertanya, dia menjawab. Dan jawaban ini semakin menggores luka di dalam hati. Jawaban yang membuat tidurku tak nyenyak. Semua seakan selesai. Jawaban itu adalah dia ditembak oleh Kaka Tingkat yang dia suka sejak maba. Bukan ditembak minta pacaran, tapi segera untuk dilangsungkan ke jenjang yang lebih serius. Aku menatap kosong pada laut yang gelombangnya mulai pasang. Sedikit tentang Kaka Tingkat, dia adalah anak semester tujuh dan sudah selesai sidang skripsi. Dia salah satu mahasiswa yang berhasil selesai kuliah dengan jangka waktu yang berbeda dari normal dan sudah pasti predikatnyacumlaude, tinggal menunggu wisudanya saja di akhir tahun. Soal tampang, dia diatasku, soal harta apalagi. Sedangkan orang yang kucintai sejak SMA, adalah anak semester empat. Dan dari raut wajahnya, aku yakin dia akan menerima tawaran pernikahan itu.

Kami pulang setelah shalat Isya. Aku sedikit berbicara saat di perjalanan pulang, bukan karena gaada obrolan. Tapi karena jalanannya lancar dan mode budeg seakan terinstall begitu saja, “hah, hah, heh, oh, iya, ENGGA KEDENGERANNNN”.

Sebelum pukul 22:00 kami sudah sampai di ruamahnya. Pintunya belum dikunci. Masih ada orang tuanya di ruang tamu. Aku kembali basa-basi. menceritakan dia yang terjatuh tadi. Dia hanya senyum-senyum saja. Untungnya aku tidak dicubit. Dan akhirnya dia cerita kepada orang tuanya tentang ajakan nikah oleh Kaka Tingkat. Ternyata Kaka Tingkatnya ini pernah main ke rumhnya. Beberapa kali. Mungkin saat itu pendekatan. Jika kuperhatikan dari respon orang tuanya sih, gembira. Sudah pupuslah harapan yang ada di dalam hati ini. Dan seperti dugaanku. Malah, aku menjadi orang pertama yang minta untuk hadir saat penyelanggaraan pernikahannya nanti. Entah, pikiranku menjadi tak karuan. Memikiran banyak hal. Aku hanya ingin pulang, berselimut bantal dan kesedihan. Dalam tawa bahagia kelurganya. Ada hati yang sesak menyaksikannya. Sebelum makin sakit yang kurasa. Aku memutuskan untuk segera pamitan. Benar, bahwa cinta memang tidak harus memiliki.

Nabrakin diri, jangan. Nabrakin diri, jangan. Eh, jangan deh, Aku takut mati. Amalku masih sedikit. Aku kalut ditemani bulan sempurna dan bintang-bintang. Seakan aku merasa diledeg oleh semua makhluk di bumi. Siapa yang tak hancur ketika aku sudah ingin mengungkapkan semua rasa cinta yang terpendam, eh malah keduluan. Apakah semesta memang setega itu? Membuatku jatuh cinta padanya dan bahagia atas cintaku lalu dipatahkan juga oleh orang yang kucintai atas pilihannya. Pikiranku sangat tidak karuan malam itu. Sesampainya aku di rumah. Aku langsung menuju kamar. Mungkin tidur bisa sedikit melegakan, pikirku.

Hari-hari berlalu, aku sudah mulai sedikit merespon chat dari Dia. Hm, Sangat tidak bersemangat. Entah berapa kali dia ngomong bahwa aku telah berubah. Aku mencoba untuk tetap meresponnya, ya, Aku sudah malas. Benar-benar malas menjawab chatnya. Tapi, karena rasa pertemanan yang sudah terjalin Aku tetap ada. Meski rasanya sulit karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Terasa sangat ambyar. Hampir setiap hari terkenang senyumnya, tawanya, wajahnya yang tertimpa cahaya senja. Meski begitu, tugas-tugas kuliah mulai ku selesaikan (walau mepet DL). Dan aku mampu melewati ujian dengan baik. Ujian Akhir Semesterku tidak hancur-hancur banget. IPKnya masih bertahan di atas 3,5. Hanya saja, ya, hati terasa hampa, kosong. Semua seakan tidak ada rasanya dan itu semua sudah berjalan hampir tiga bulan. Apa aku gagal move on?

Libur semester tiba, aku memutuskan untuk kembali menapaktilasi kejadian di Pantai hari ini. Hampir tiga bulan berlalu, semua harusnya selesai dan kembalimecoba untuk mengikhlaskan. Sore itu cuaca di Pantai sangat cerah, bedanya, aku sekarang sendiri di sini dan dia sedang sibuk mempersiapkan agenda pernikahannya sepekan lagi. Aku dengan rasa sedih yang masih belum pulih, sedang dia dengan rasa bahagia yang memuncah.

Saat aku meratapi nasib dan memandag kosong ke arah matahari yang perlahan memeluk bumi tetiba ada seorang duduk di sampingku dan tersenyum. Wajahnya indah diliputi cahaya senja, seakan senja berpindah pada wajahnya yang teduh. Entah, aku tidak tahu siapa lelaki ini. Kami berkenalan. Nama Pak Hasan. Biasanya dipanggil Pak San. Usianya dua puluh tiga tahun lebih tua dariku, tapi wajahnya, seakan kita seumuran. Entah Pak San yang terlihat muda atau Aku yang terlihat tua. Sepertinya Aku yang terlihat tua. Hehe.

Kami bercerita banyak, seakan Pak San tahu masalah yang sedang aku hadapi, Pak San menceritakan tentang masa lalunya. Tentang janji cintanya yang teringkari dan penerimaanya atas takdir itu. Aku akan mengutip kisahnya, “Saat itu usiaku 23 tahun dan baru selesai lulus kuliah. kamu tahu, selain orangtua ku yang memotivasi untuk menuntaskan perkuliahan ini ada juga yang lain, yaitu janjiku dengannya dan janjinya yang akan menungguku. Aku dekat dengan dia waktu SMA. Dekat sekali. Orangnya lucu, seru, pokoknya cocok kalau untuk dijadikan patner berantem. Eh, dijadikan patner hidup.” Aku tertawa mendengar ceritanya, dan hei, sama kaya Aku yang dekat dengan dia sejak SMA. Pak San melanjutkan, “Setelah lulus SMA. Dia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliahnya di sana. Tapi, sebelum perpisahan. Aku dan Dia berjanji. Aku akan tetap datang kepadanya, entah itu dia masih menuggu atau tidak dan dia juga berjanji akan tetap menunggu, entah itu Aku akan datang atau tidak.”Aku menelan ludah. Sebuah janji? Hei, janji ini begitu berat, bahkan jika janji ini berbentuk dan di taruh di atas gunung, maka gunung akan luluh karena berat dan dalamnya janjinya ini. “Kami masih bisa berkomunikasi, meskipun tidak terlalu sering. Bahkan beberapa bulan yang sebelum aku sidang kami sempat lost contact karena HP ku yang hilang entah kemana, untungnya file-file penting sudah aman di laptop. Aku mulai usaha, sedikit demi sedikit, akhirnya dua bulan kemudian Aku bisa membeli HP baru. Eh, seken. Aku cari nomer dia, Aku juga mulai cek kembali Facebooknya. Soalnya waktu itu dia bilang mau udahan main Facebook dan Aku juga jarang sekali membukanya. Demi, mencari nomernya aku coba menelusuri Facebook. Ternyata Dewi Fortuna masih berpihak padaku, saat aku ketik nama lengkapnya, ternyata ada, ketemu, potonya sedang memakan ayam yang disambelin (yang sekarang bisa dibilang Ayam Geprek). Ternyata Dia bisnis resto kecil di Yogyakarta satu bulan terakhir, agar bisnisnya berjalan mulus dan banyak orang tahu. Dia memutuskan untuk mulai aktif lagi di Facebook (untuk promosi). Danakhirnya aku dapat nomer teleponnya kembali. Aku menceritakan semuanya. Soal aku yang mau sidang dan HPku yang hilang.” Aku tersenyum, sepertinya endingnya akan bagus. Tapi, setelah Aku pandangi wajah Pak San, wajahnya sedikit berubah. Wajahnya seperti teringat kenangan yang pahit. Langit mulai mengoren dan matahari sudah mulai tenggelam. “Alhamdulillah, sidang skripsi berjalan dengan baik dan bisnisku juga Alhamdulillah lancar. Bahkan saat itu Aku sudah memiliki empat karyawan. Satu orang koki, satu orang kasir dan dua lainnya adalah pelayan restoranku. Saat itu tempatnya tidak terlalu besar, entahlah itu bisa dibilang restaurant atau hanya warung makan. Menu utama yang Aku tawarkan saat itu adalah Bebek. Ya, daging Bebek. Aku menghabiskan cukup banyak waktu untuk belajar memasak dan membakar daging bebek. Saat itu focus utamaku adalah cita rasa dari sebuah makanan. Walaupun kuliahku di ekonomi dan bisnis. Aku juga suka memasak. Nah, dari mana aku mendapatkan pasokan daging Bebek? Hm, Aku memiliki Beberapa channel untuk pasokan daging Bebek. Ada tiga saat itu dan salah satunya adalah teman dari almarhum ayahku. Dan itu semua berjalan lancar. Bagaimana usaha daging bebekku diusiaku yang sudah mendekati empat puluh? Ah, sudahlah aku malu mengatakannya.” Pak San menarik napas panjang, wajah sedihnya malah semakin terlihat. Padahal cerita tadi adalah cerita yang bukan menyiratkan kesedihan. Dan hei, Daging bebek? itu kan makanan favoritnya dia. “Aku meneleponnya, kalau Aku sudah lulus sidang dan bulan depan, satu hari setelah wisuda, Aku akan menuju Yogyakarta untuk menunaikan janjiku saat SMA. Janji yang masih melekat di kepala dan hati. Kamu tahu? Saat itu saksi janji Aku dengannya adalah senja di Pantai. Bukan jawaban indah yang kudapatkan, bukan sambutan-sambutan berbunga-bunga, bukan kata-kata bahagia. Malah sebaliknya, Dia menangis. Sambutan atas kabar gembiraku adalah tangisnya. Dia menjelaskan semuanya. Dia minta maaf tidak bisa menunaikan janjinya. Aku hanya diam, semua terasa hampa, hilang, masasih? Apa iya? Air mata mulai keluar begitu saja dari mataku yang sudah ditempa dengan perjuangan menjadi tulang punggung. Rasanya aku ingin segera pulang dari kampus dan segera memeluk Ibu. Aku sudah tidak mendengarkan penjelasannya lagi, yang jelas, Aku sudah tahu kalau dia akan menikah bulan depan, tiga hari setelahku wisuda.”Aku tertegun mendengar kisahnya. Bahkan, kisahnya ini dibumbui oleh sebuah janji. Janji yang dikhianati. Kisah ini lebih sulit dari apa yang aku perkirakan dan rasanya lebih dashyat dari apa yang Aku rasakan saat ini. Hei, Aku menangis. “Setelah sampai di rumah, Aku langsung memeluk Ibuku, Aku lulus, Bu. Aku lulus. Ibuku menangis. Mengacak-acak rambutku, itu kebiasaan Ibu dari Aku masih kecil. Aku juga memeluk Adikku yang usianya masih 5 tahun, kasihan, sekecil itu sudah menjadi yatim. Ayahku meninggal saat Adikku usia 3 tahun. Aku duduk dan bercerita dengan Ibu. Entah mengapa, bercerita dengan Ibu adalah satu hal yang menyenangkan. Dan saat Aku menceritakan tentang dia. Ibu mendekatiku dan memelukku. Aku kembali menangis dalam pelukan Ibu. Ibu hanya berpesan, jika kau benar mencintainya, maka kau akan bahagia atas kebahagiaannya.” Apa Aku benar mencintainya? Mengapa Aku mengumpal benci dalam hati atas kebahagiaan yang dia pilih. Apa aku salah langkah dalam mengambil sikap? “Hari-hari berlalu, Nak. Kamu tahu? Perkataan Ibu saat itu mempan padaku sampai hari pernikahan itu. Ya, Aku tetap ke Yogyakarta dengan Ibu dan Adikku. Menepati janjiku. Bahwa Aku akan tetap datang padanya, entah dia menungguku atau tidak. Dan ya, aku datang sebagai tamu, bukan sebagai calon suaminya. Aku menahan semuanya. Tangis, marah, kesal, kecewa, semuanya. Aku segera menuju penginapan dekat Jalan Malioboro setelah selesai menjadi tamu undangan di pernikahannya, besok pagi Aku harus kembali ke Ibu Kota. Aku masih menjalankan bisnis warung makanku. Sekarang sudah buka dua cabang baru. Bertahun berlalu. Aku masih menyimpan semuanya dalam hatiku. Sampai usiaku memasuki 30 tahun. Aku masih berjuang mengikhlaskan, menerima, kata maaf untuknya yang Aku ucapkan pada Ibuku itu semuanya bohong. Aku masih suka menangis ketika mengingatnya. Rasa sakitnya masih ada. Aku masih belum bisa menerima, mengikhlaskan. Hingga akhirnya, Aku mengunjungi guru ngajiku waktu Aku masih belajar membaca Iqra dan Al-Qur’an. Aku curhat dengannya akan keadaanku. Banyak hal yang Aku dapatkan dan salah satunya adalah obat dari rasaku ini. Pengikhlasan. Banyak nasehat yang Aku dapatkan. Terutama tentang memaafkan dan ikhlas. Kata guruku, memaafkan itu bukan perkara sedehana, dan mereka yang bisa memaafkan itu adalah sesungguhnya orang-orang kuat. Dan kamu tahu apa yang lebih kuat dari itu? Yaitu mereka yang telah memaafkan lalu mengikhlaskan kejadian pahit yang telah dialaminya. Suatu hari ketika dia mengingat kejadian pahit itu, ia menceritakannya dengan senyum dan tanpa rasa sedih apalagi sampai marah-marah. Sebagaimana Allah, yang Maha Pemaaf. Maka kita juga sebagai hamba-Nya, harus juga memiliki sifat itu. Dan kamu tahu buah dari maaf dan pengikhlasan itu? Buahnya adalah kamu menjadi lebih kuat dari yang sebelumnya dan hatimu lebih tenang dari sebelumnya. Guruku juga banyak menceritakan tentang bagaimana Allah begitu mudah dalam memaafkan hambanya, bahkan kepada pelacur yang dengan ikhlas memberi minum kepada anjing yang kehausan dan kepada pembunuh seratus orang. Kau pernah mendengar kisahnya, kan? Aku mengangguk. Guruku juga banyak cerita tentang bagaimana Rasulullah disakiti dan memaafkan semuanya. Bahkan bersikap baik pada yang menyakitinya. Dan soal cinta. Guruku juga sedikit menceritakan kisahnya. Beliau berpesan, bahwa ketika orang yang kita cintai tidak bisa kita miliki maka Allah sedang mempersiapkan seseorang yang lebih baik dari orang yang kita cintai. Kamu tahu kenapa? Karena Allah adalah sebaik-baiknya pembuat skenario kehidupan. Yang harus kamu lakukan selanjutnya adalah lebih mendekatkan diri padanya. Maka kau akan didekatkan dengan orang yang mencintaimu, dan mungkin itu yang nanti akan menjadi jodohmu.” Oi, air mataku makin membanjiri pipiku. Orang ini memberiku tissue dan wajah orang ini seakan diterpa cahaya senja, sangat teduh. Saat menceritakan salah satu bagian terpentingnya. Seakan dia bisa membca raut wajahku, Orang ini melanjutkan ceritanya, “Hehe. Kadang, memang seperti itu perkara cinta. Aneh. Sungguh aneh. Tapi, kita selalu bisa mengambil pelajaran pada setiap kejadian yang terjadi dalam hidup kita. Nah, Nak. Apabila kamu terus larut dalam kesedihan karena kehilangannya, apa kamu akan berubah? Tidak. Kamu harus mengambil sikap atas rasamu. Dan menurutku yang pernah merasakan yang sepertimu, kamu harus bisa menjadikan rasamu itu kekuatan. Maafkanlah, ikhlaskanlah, kadang yang baik menurut kita, belum tentu baik di skenarionya Allah. Jadi, lebih baik, kamu fokus pada kuliahmu dan lakukanlah yang terbaik pada hal-hal yang kamu sukai. Mungkin kamu bertanya-bertanya apakah Aku mencintai perempuan lain? Lalu apa hubunganku dengan dia berakhir? Hm, ya, setelah dari Guruku Aku memutuskan untuk sudahi semuanya. Ikhlaskan saja, maafkan, terima semuanya. Mungkin dengan demikian Allah mempermudah langkahku. Dan begitulah skenarionya Allah. Ia selalu bersikap lembut kepada hambanya. Bisnis warung makanku berjalan dengan lancar, sebulan berlalu selepas dari Guruku, warung makanku sudah ada sepuluh cabang di kota ini. Dan tumbuh lagi dalam hatiku cinta yang baru. Tak lama meresmikan cabang kesepuluh aku menikahi seorang wanita di usiaku yang sudah 30 tahun. Perempuan itu cantik, dia berusia 24 tahun, seorang pengajar di SMP tak jauh dari tempat warung makanku yang di pusat (cabang pertama). Tentang bagaimana Aku bisa jatuh cinta padanya? Ah, nanti-nanti saja Aku akan menceritakannya. Dan kenapa Aku ke sini? Ke Pantai ini? Karena Aku bernostalgia dengan masa laluku. Andai, tidak ada masa lalu, mungkin Aku akan menjadi orang yang biasa-biasa aja. Usiaku sekarang hampir 45 tahun. Anakku juga sudah berusia 6 tahun, syukurlah, Ibuku masih bisa menggendong cucunya sebelum kepergiannya. Ibuku sudah meninggal dan Adikku baru lulus sarjana, kasihan Adikku, hadiah kelulusannya adalah meninggalnya Ibuku. Adikku sekarang kerja di kantor pusat Ibu Kota. Dia dipercaya menjadi sekretaris manager di perusahaan ternama. Ah, masalah kepintaran, Adikku memang nomer satu di keluarga kami. Rencananya Adikku akan menikah tahun ini.” Aku masih menyimak setiap penjelasannya. Aku juga sudah mendapatkan jawaban atas rasaku dan Aku juga sudah menyusun langkah nantinya mau seperti apa. Ya, Aku akan mencoba memaafkan dan menerima semuanya; ikhlas. “Kamu tahu, uniknya, malah Ayam Gepreknya dan Bebekku mengadakan kongsi dagang. Alhamdulillah berjalan lancar. Dan kamu tahu, salah satu cabang kami ada di sini. Tepatnya setelah dua restaurant sebelah kanan. Lumayan besar dengan dilengkapi aula yang biasa dipakai untuk acara-acara resmi dan sudah pasti makanan yang enak. Karena aku yang masak dan jadi kepala koki di sana. Dan kamu tahu, kenapa Aku di sini? Hm, Aku pernah melihatmu beberapa bulan yang lalu di sini, bersama seorang wanita, kan? Kau mengingatkanku dengan masa lalu saja. Siapa nama wanitamu? (Zahra). Ya, Zahra, Dia akan melangsungkan pernikahannya di restaurantku pekan depan. Kamu jangan lupa datang, ya.” Rasanya seperti orang ini sedang menyidirku. Aku hanya diam. Matahari genap sudah tenggelam di ufuk barat. Adzan Maghrib mulai bergema.

Banyak hikmah yang Aku dapatkan dari cerita Pak San. Banyak sekali. Kami mulai menuju surau untuk melaksanakan shalat Maghrib berjama’ah. Setelah shalat Aku pulang, sepanjang perjalanan Aku mulai mencoba untuk memeluk semuanya, menerima semua kejadian. Bahwa tidak semua yang kita cintai akan kita miliki, semua yang kita harapkan bisa tergapai dan tidak semua yang menurut kita baik itu benar-benar baik untuk kita. Karena Allah lah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sesampainya di rumah, aku mendapat undangan pernikahan Zahra. Zahra & Angga. Lokasinya di Restaurant Hasannissa Berkah. Aku sudah mulai tersenyum. Aku teringat apa kata Ibu,“Jika kamu benar mencintainya, maka kau harus bahagia atas kebahagiaanya”.

Ah, kenangan yang begitu indah, kan. Eh, nyesek? Eh, kan sudah ikhlas, menerima. Aku masih duduk dan menatap senja di sini. Sendiri. Bagaimana kisahku dengan Zahra waktu SMA? Bagaimana pertemuan pertamanya? Bagaimana Aku bisa jatuh cinta padanya? Bagaimana ketika Aku datang ke pernikahan Zahra? Bagaimana kisahku berikutnya? Apakah Aku akan sama dengan Pak San, menemukan tambatan hati yang baru? Nanti-nanti saja Aku akan bercerita lagi. matahari mulai tenggelam lagi. aku menuju surau untuk melaksanakan shalat Maghrib. Selepas itu makan di Restaurant Hasannissa Berkah. Bertemu Pak San dan Bu Nis (Nama lengkapnya Annisa, biasanya dipanggil Bu Nis, istrinya Pak San). Selepas makan, lanjut shalat Isya lalu pulang ke rumah. Lanjut menulis dan abis itu….. Hm, tidurlah, rehat, apalagi? Hihi.

625 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentarios


OFFICIAL WEBSITE HMJ SPI UIN SMH BANTEN

083805937957

Jalan Jendral Sudirman No. 30 Panancangan Cipocok Jaya, Sumurpecung, Kec. Serang, Kota Serang, Banten 42118, Indonesia

  • Instagram
  • Facebook
  • Google Places

©2021 by SPI BERKARYA. Proudly created with Wix.com

bottom of page